Sebelum menikah, saya dan suami sepakat untuk melakukan premarital medical check up.
Bukan untuk apa-apa selain hanya untuk kebaikan kami berdua. Entah
untuk mengetahui riwayat penyakit, pencegahan penyakit, program hamil,
dan berbagai manfaat lainnya. Sejujurnya, selama hidup, saya gak pernah
periksa kesehatan sedetail ini, karena yaa..saya gak pernah nyaman
berada di rumah sakit. Tapi, berkat dorongan dari Mas suami saat itu,
dengan berat kaki, akhirnya saya mendaftarkan diri di Rumah Sakit
Borrommeus Bandung.
Dari namanya saja kita sudah tahu bahwa premarital medical check up
seharusnya dilakukan sebelum menikah. Tapi, karena pada saat itu banyak
sekali halangan, dari mulai haid saya yang sering datang di jadwal MCU
yang sudah saya tetapkan (karena pada saat MCU gak boleh dalam keadaan
haid), sampai kesibukan persiapan pernikahan yang lain, sehingga saya
baru melakukannya setelah menikah dengan catatan saya dan suami sepakat
untuk gak merencanakan kehamilan sebelum saya melakukan MCU, menghindari
terjadinya sesuatu yang gak diinginkan, mengingat saya belum tau
kondisi tubuh sendiri. Berbeda dengan saya, suami sudah menyelesaikan
MCU dari beberapa bulan sebelum pernikahan, dan alhamdulillah hasilnya
baik-baik saja.
Bulan
April 2018, saya baru punya kesempatan untuk melakukan MCU di Rumah
Sakit Borromeus Bandung dengan biaya 3.X (saya lupa tepatnya), sedangkan
biaya MCU suami lebih murah karena pemeriksaan yang dilakukan pun lebih
sederhana. MCU dimulai dari pkl 08.00, dimulai dari pemeriksaan
kesehatan secara umum, pemeriksaan gigi, tes darah, tes urin, rontgen,
dan pemeriksaan kandungan. Selama ini saya gak punya riwayat penyakit
yang aneh-aneh selain maag yang sering muncul. Saya juga gak
punya penyakit turunan, tapi tetap saja, setiap diperiksa dokter,
bawaannya parno. Parno kalau-kalau ditemukan penyakit yang selama ini
gak pernah saya duga.
Pemeriksaan
berlangsung cukup singkat dan gak terasa akhirnya saya sampai pada
pemeriksaan akhir, pemeriksaan kandungan. Pemeriksaan kandungan ini
memakan waktu cukup lama, karena ternyata saya harus bergabung dengan
antrian umum, berbarengan dengan ibu-ibu hamil yang juga sudah punya
jadwal sebelumnya. Meskipun pasien MCU lebih sering didahulukan, tapi
karena antrian dokter kandungannya super membludak, tetap saja terasa
sangat lama.
Begitu
nama saya dipanggil, saya langsung diperiksa oleh dr. Indri. Dokternya
cerewet dan menyenangkan. Entah beliau sedang mengalihkan pikiran saya
yang terlihat tegang, atau beliau memang senang berbicara. Saat mulai
melakukan USG, saya terus memperhatikan ekspresi wajah dokter,
menebak-nebak apa yang ada dipikirannya. Hebatnya, kebanyakan dokter
memang mampu mengendalikan ekspresi, sehingga saya gak bisa menebak apa
yang sebetulnya dilihat oleh dr.Indri di rahim saya ini. Sampai
akhirnya, beliau bilang, "Hmm... ini ada ya..."
DEGGG. Ada apa?
Mendengar dokter baru berkata seperti itu saja, pikiran saya sudah
kemana-mana. Memang selama ini menstruasi saya gak pernah lancar.
Meskipun tiap bulan selalu ada waktunya saya haid, tapi polanya acak,
gak bisa diprediksi. Selain itu, saya juga kerap kali mengalami keram
perut yang luar biasa selama menstruasi, yang gak jarang bikin saya
nangis guling-guling di kasur. Sebelumnya, saya pernah memeriksakan
masalah menstruasi ini ke obgyn lain, tapi mereka gak menemukan
sesuatu yang salah di rahim saya. Makanya, saat dr. Indri bilang seperti
itu, bisa kebayang kan gimana paniknya saya.
Sekitar 5 menit memeriksa, akhirnya dr. Indri nyeletuk, "Kenapa zaman sekarang banyak yang kaya gini ya..". Lagi-lagi, dr. Indri berkomentar setengah-setengah, bikin saya jadi greget dan mendumel dalam hati "Sebenarnya ada apa?".
Seperti membaca isi hati, dr. Indri langsung menjelaskan, bahwa beliau
menemukan kista-kista kecil pada ovarium saya yang membuat sel telur
tidak berkembang sempurna dan gagal dilepaskan secara teratur. Ini
adalah penyebab mengapa menstruasi saya gak pernah teratur. Kondisi ini
disebut polycystic ovarian syndrome (PCOS). Dari
hasil USG terlihat bahwa tampak beberapa buah (minimal 8 buah) struktur
kistik pada bagian perifer, berukuran terbesar 12,1 mm pada ovarium
kanan, dan 9,1 pada ovarium kiri. Ini adalah hasil USGnya, meskipun saya sendiri gak bisa lihat "makhluk-makhluk" yang dimaksud oleh dokter Indri ini.
Saya
sempat bertanya mengenai intervensi yang akan dilakukan terhadap PCOS
yang saya miliki, tapi dokter Indri menundanya dengan mengatakan bahwa
nanti saya akan diberikan kesempatan konsultasi dengan dokter kandungan
lain di hari lain, karena tampaknya dr. Indri saat itu hanya ditugaskan
untuk melakukan USG saja.
Selang
beberapa hari setelahnya, saya dijadwalkan untuk konsultasi dengan
dokter kandungan (saya lupa namanya). Beliau membahas keseluruhan hasil medical check up, dan menyampaikan 3 masalah yang ditemukan di tubuh saya. Yang pertama adalah underweight karena
memang sebelum saya hamil, berat badan saya gak pernah melebihi angka
45 kg. Beliau bilang, angka segitu terlalu kurus dengan tinggi badan 165
cm ini. Yang kedua adalah miopi atau rabun jauh yang saya miliki semenjak SMP. Dan yang terakhir, PCOS ini.
Beliau menjelaskan lebih detail mengenai kondisi PCOS yang saya alami,
dari mulai penyebab, gejala, dan pengobatannya. Dari yang saya tangkap,
kondisi PCOS ini gak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan dengan cara pola hidup yang sehat.
Sepulangnya
dari dokter, saya mulai mencari tau lebih banyak lagi tentang PCOS ini.
Betul seperti yang dokter bilang, dari artikel-artikelyang saya
bacapun, PCOS ini gak bisa disembuhkan, karena berkaitan dengan hormon.
PCOS terjadi ketika ovarium wanita atau kelenjar adrenal memproduksi
hormon laki-laki, seperti testoteron, lebih banyak dari normal.
Akibatnya terjadi gangguan keseimbangan hormonal. Gejala yang biasanya
muncul adalah haid yang gak teratur (atau bahkan gak haid sama sekali),
kadar hormon pria lebih tinggi (salah satu tandanya adalah munculnya
rambut di bagian tubuh yang semestinya, misalnya di wajah. Di kasus
saya, saya pernah menemukan 1 helai rambut berukuran 0.5 cm di dagu.
Sebelum tau tentang PCOS ini saya sempat panik, sempat terpikir mungkin
saya gak sengaja ngoles krim wak doyok milik suami ke dagu), dan yang
terakhir adalah adanya kista yang ditemukan pada saat pemeriksaan USG.
Source : mayoclinic.org |
Resiko
dari PCOS ini juga bermacam-macam, tapi yang paling sering terjadi
adalah kesulitan untuk hamil pada penderitanya. Ini terjadi karena sel
telur susah matang atau dilepaskan saat menstruasi. Saat saya tau bahwa
PCOS ini kemungkinan akan membuat saya sulit hamil, saya langsung
berdikusi dengan suami. Ya.. sebetulnya, punya anak bukanlah prioritas
utama kami setelah menikah. Ingin menghabiskan waktu berdua dulu,
pacaran dulu, mengingat usia PDKT kami yang terbilang singkat. Setelah
berdiskusi dengan suami, dia cukup santai menanggapinya. Suami termasuk
orang yang legowo, apapun yang sudah digariskan oleh Tuhan, sebisa
mungkin ia terima. Tapi juga, gak bikin suami lantas gak bergerak dan
nerima-nerima aja, doi selalu mengingatkan untuk tetap berusaha semampu
kami.
6
bulan berlalu, perasaan ingin memiliki anak mulai muncul. Berbekal
informasi dari dokter dan artikel-artikel yang saya baca, akhirnya saya
mulai menerapkan pola hidup sehat di rumah sebagai ikhtiar kami dalam
perencanaan kehamilan, yaitu:
1. Diet Makanan
Diet
makanan bagi penderita PCOS ini mirip dengan diet pada penderita
diabetes, yaitu mengurangi gula. Mengonsumsi makanan yang tinggi protein
dan lemak, serta mengurangi karbohidrat dan perbanyak makanan berserat
tinggi. 3 bulan pertama, saya mengganti beras putih menjadi beras merah,
agar lebih sehat. Tapi, saya terbiasa melihat beras merah dipadukan
dengan lauk-lauk sunda, jadi kadang saya ngerasa aneh waktu makan nasi
merah dengan lauk chicken teriyaki. Alhasil, saya kembali menggunakan
beras putih. Saya juga paling sulit menghindari makanan-makanan
bertepung, padahal tepung-tepungan juga termasuk yang harus dikurangi
oleh penderita PCOS. Tapi... siapa yang bisa menahan godaan
goreng-gorengan?
2. Mengonsumsi vitamin E dan asam folat
Vitamin
E ini bertujuan untuk meningkatkan kesuburan. Sebetulnya mengonsumsi
vitamin E bukan termasuk pengobatan PCOS, tapi semacam mengoptimalkan
fungsi rahim, membuat rahim lebih siap untuk "dihuni". Sedangkan asam
folat diperlukan untuk pembentukan sel darah merah yang optimal untuk
membantu pertumbuhan janin kelak dan melindungi sel tubuh.
3. Olahraga
Olahraga
yang biasa saya lakukan bukan olahraga berat. Sekedar menari-nari
sambil mendengarkan musik, atau kalau sedang niat menggelar matras, saya
biasa yoga di rumah dengan mengandalkan youtube. Tapi karena yoga
memang gak semudah itu, saya malah gak semangat. Paling mudah dan paling
sering dilakukan sih jalan kaki ditemani suami.
4. Kelola Stress
Ini yang sebetulnya sulit dikendalikan. Saya termasuk orang yang banyak mikir. Gak cuma hal yang memang harus dipikirkan. Hal-hal kecilpun kadang bikin saya cemas dan gak bisa tidur. Kadang saya juga mikir kenapa saya ini banyak mikir, yang bikin saya makin pusing. Padahal stress berkaitan dengan hormon, dan PCOS adalah penyakit hormon. Untungnya, Mas suami banyak membantu dalam menjaga pikiran saya agar tetap jernih, meskipun sewaktu-waktu masih bisa keruh juga.
4
poin di atas yang saya terapkan selama promil, meskipun sebetulnya
masih ada cara lain untuk mengatasi PCOS seperti mengonsumsi obat hormon
atau bahkan ovarium drilling. Selama 6 bulan, saya mencoba
menerapkan pola hidup yang sehat, lebih menjaga makanan, berolahraga
lebih sering, dan mencoba menghindari stress, tapi tetap saja.. dua
garis pink gak juga datang. Up and down, telat haid berhari-hari
sampai berminggu-minggu seringkali bikin saya keGRan yang diiringi
dengan rasa kecewa setelah melihat hasil testpack. Sampai akhirnya,
karena seringnya saya telat haid, stok testpack di rumah jadi membludak,
karena saya malas bolak balik ke minimarket.
Tibalah saat anniversary pernikahan kami yang pertama, kami merencanakan liburan di Bandung selama seminggu. Staycation di
daerah Lembang dan mengunjungi tempat wisata di sekitarnya, Quality
time dengan Mas Suami selama seminggu di Bandung adalah hal yang langka,
jadi kami manfaatkan sebisa mungkin. Saat itu kami sudah mulai santai,
sudah gak menggebu-gebu seperti sebelumnya. Lagipula, terakhir saya
konsultasi ke Obgyn di Bandung, beliau mengatakan bahwa anak itu
masalah rezeki, kehendak Tuhan, gak bisa dipaksa-paksakan. Kalaupun saya
gak mengidap PCOS, jika Tuhan memang belum berkehendak untuk menitipkan
anak, ya gak akan terjadi. Saya pikir, betul juga. Selama ini, memang
saya menjauhi diri dari pikiran-pikiran stress agar bisa fokus dalam
merencanakan kehamilan. Tapi, justru fokus merencanakan kehamilan ini
malah menjadi sumber stres baru. Jadi, karena saya merasa sudah berusaha
semampu saya, saya rasa tugas selanjutnya adalah bertawakal,
menyerahkan semuanya pada Tuhan.
Selang
sebulan kemudian, pertengahan Februari, saya terlambat haid selama
seminggu, seperti yang biasa terjadi. Tapi kala itu, kok rasanya saya
merasa gak enak badan. Terasa sangat lelah, padahal gak ada aktivitas
berat yang saya lakukan. Akhirnya saya mencoba periksa lagi menggunakan testpack,
tanpa banyak berharap. Dan muncullah 1 garis pink dengan jelas, lalu
muncul 1 garis lagi dengan warna pink yang sangat samar. Karena merasa
gak yakin, saya sempat googling dan tanya ke beberapa teman, dan semua
jawabannya sama, kalau ternyata saya POSITIF HAMIL.
Garis pink samar menandakan bahwa hormon HCG (hormon kehamilan) saya
masih rendah, tanda bahwa usia kandungan saya masih sangat muda.
Ingin
memastikan lebih jelas, akhirnya saya coba datang ke dokter kandungan
di Rumah Sakit Mitra Husada Pringsewu. Setelah diperiksa menggunakan
USG, dokter menemukan sebuah kantung dalam rahim saya, kantung janin.
Sangat kecil sekali, sekitar 0,05 cm, sehingga sempat membuat dokter
ragu. Hingga pada akhirnya beliau bilang kalau memang kemungkinan besar
itu kantung janin. Akan tetapi, untuk lebih pastinya, saya diminta untuk
kontrol kembali setelah 2 minggu, menunggu ukurannya menjadi sedikit
lebih besar. Betul saja, 2 minggu kemudian saya kembali memeriksakan
kandungan saya, dan ukurannya membesar sehingga lebih terlihat jelas
kantung janin yang dokter maksud sebelumnya.
Dokter mengucapkan selamat berkali-kali atas kehamilan saya, mengingat betapa banyaknya kasus PCOS yang membuat penderitanya sulit hamil, termasuk pasien-pasien yang ia tangani. Saya juga heran, penantian selama 6 bulan justru membuahkan hasil ketika saya gak banyak berharap dan memasrahkan semuanya sama Tuhan. Lagipula, kalau dipikir-pikir, kehamilan saya datang di waktu yang tepat. Saya gak kebayang jika saya hamil secepat yang saya inginkan, dengan kondisi saya baru pindah ke Lampung. Adaptasi dengan lingkungan baru saja super memusingkan, gak kebayang kalau saya juga harus beradaptasi dengan kondisi badan yang baru juga.
Dokter mengucapkan selamat berkali-kali atas kehamilan saya, mengingat betapa banyaknya kasus PCOS yang membuat penderitanya sulit hamil, termasuk pasien-pasien yang ia tangani. Saya juga heran, penantian selama 6 bulan justru membuahkan hasil ketika saya gak banyak berharap dan memasrahkan semuanya sama Tuhan. Lagipula, kalau dipikir-pikir, kehamilan saya datang di waktu yang tepat. Saya gak kebayang jika saya hamil secepat yang saya inginkan, dengan kondisi saya baru pindah ke Lampung. Adaptasi dengan lingkungan baru saja super memusingkan, gak kebayang kalau saya juga harus beradaptasi dengan kondisi badan yang baru juga.
Tulisan
ini saya maksudkan untuk perempuan-perempuan di luar sana yang juga
memiliki PCOS dan memiliki kekhawatiran mengenai kehamilan. Saya gak
akan bilang sabar, karena kalian pasti sudah punya banyak. Tapi, penting
untuk percaya bahwa memiliki PCOS memang memungkinkan kita sulit untuk
hamil. Tapi, itu kan baru "mungkin", siapa yang tahu dengan rencana
Tuhan?
Tetap semangat ya!
Tetap semangat ya!
0 comments:
Post a Comment